Makam Ki Ageng Pandanaran


Makam Ki Ageng Pandanaran, Adipati pertama semarang, pelopor berdirinya Kota Semarang, Yayasan Sosial Pandanaran


Ki Ageng Pandanaran adalah Adipati Semarang yang pertama dan tanggal diangkatnya beliau sebagai adipati dijadikan hari jadi Kota Semarang. Dengan demikian beliau dianggap sebagai pelopor berdirinya Kota Semarang. Ki Ageng Pandan Arang atau Pandanaran meninggal pada tahun 1496. Tempat ini banyak dikunjungi oleh peziarah terutama pada acara khol meninggalnya beliau setiap bulan Muharam setahun sekali. Makam Ki Ageng Pandanaran ini berada di Jl. Mugas Dalam II/4, Kelurahan Mugasari kurang lebih 1 Km dari Tugu Muda, dibuka untuk umum setiap hari dan setiap saat. Dari masjid Baiturrahman ke makam Ki Ageng Pandanaran, dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Dari Masjid Baiturrohman, anda akan menyusuri jalan Pandanaran di sebelah selatan Masjid menuju arah barat sepanjang 200 m. Sesampainya di depan Toko Buku Gramedia, sebuah belokan kecil akan menuntun anda ke arah makam Ki Ageng Pandanaran. Selama dalam perjalanan, anda akan melihat pemandangan kantor harian sore Wawasan, kampus Stikubank dan kantor Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Tengah (kawasan Mugas). Untuk selanjutnya, anda akan menempuh perjalanan panjang yang terjal, naik turun bukit dan jalan berundak yang mengantarkan anda menuju Jl. Mugas II di mana Ki Ageng Pandanaran di makamkan. Makam yang terletak di kawasan Mugas Dalam Rt 7/III semula memiliki corak bangunan kuno yang khas Semarang, unsur kolonialisme yang berkukuh hampir 350 tahun memberikan dampak buruk terhadap eksistensi makam Ki Ageng Pandanaran II. Belanda berupaya untuk mengubur habis segala peninggalan yang terkait dengan Islam atau budaya yang berseberangan dengan budaya Belanda yaitu Kristen. Maka, penghancuran dan pendirian gereja untuk mengepung budaya asli pribumi menjadi sebuah keniscayaan oleh Belanda dan penjajah yang lain.
Desain ruang kota yang ada dalam wilayah “kota lama” merupakan saksi, bahwa kolonial Belanda berusaha mengepung masyarakat pribumi dengan banyaknya gereja-gereja yang didirikan. Hal tersebut juga terjadi pada kompleks makam Ki Ageng Pandanaran I dan II. “semua itu kami tetap bersemboyan becik ketitik ala kethoro”. tutur Kardiyono generasi ke-17 dari Ki Ageng Pandanaran II.
Menurutnya, peninggalan bangunan bukanlah hal yang penting, begitupun peninggalan-peninggalan yang lainnya, seperti keris ataupun batu-batuan berharga. Benda-benda tersebut peninggalan Ki Pandanaran saat menjadi Adipati Semarang I yang cukup kaya. Selain itu, Ki Ageng Pandanaran juga meninggal sesuatu yang sangat berharga yakni ajaran keagamaan. “Ki Ageng Pandanaran dalam menyebarkan agama Islam, memakai falsafah hidup dengan konsep DUIT. Yaitu “D”, Doa ibu didalam setiap aktifitas hidup, “U” Usaha yang ikhlas dan bermanfaat bagi sesama, “I” Iman yang melandasi doa dan usaha, dan terakhir adalah puncak insan kamil, “T” Taqwa di setiap saat dan di setiap tempat”. Tambahnya.
Saat ini, pengawasan dan perawatan makam ditangani oleh Yayasan Sosial Sunan Pandanaran (YSSP) yang berdiri pada tanggal 9 Juli 1969. Yayasan ini merupakan yayasan khusus pewaris-pewaris keturunan Ki Pandanaran yang menikah dengan Endang Sejawilah atau dikenal dengan Nyi Ageng Pandaran dari daerah Pragoto. Selama hidupnya, mereka memiliki enam keturunan yang tersebar di Jawa Tengah, yaitu pangeran Kasepuhan (Sunan Tembayat), Bayat, Klaten. Pangeran Kanoman (P. Mangkubumi) Imogiri, Surakarta. Pangeran Wotgalih, Nyi Ngilir, dan Pangeran Bojong.
Makam yang telah mengalami renovasi tiga kali ini (1960, 1975, 1991) mengalami puncak keramaian dalam dua tahap. Tahap pertama Haul Ki Ageng Pandanaran yang jatuh pada tanggal 17 Muharram (Suro), dan Hari jadi kota Semarang setiap tanggal 2 Mei. Biasanya, prosesi ‘buka luwur’ atau haul dihadiri dari keluarga Mataram keturunan dari pangeran Mangkubumi. “untuk itu sudah selayaknya kita ikut menjaga, merawat dan mengetahui tentang Ki Ageng Pandanaran sebagai sesepuh Semarang dan Jawa Tengah”. Pesan ketua Yayasan Sosial Pandanaran.

0 comments:

Post a Comment